Sabtu, 17 September 2011

Adab Berbicara

“Lidah memang tidak bertulang”, itulah ungkapan yang sudah tidak asing lagi di telinga setiap kita. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa lidah dapat digerakkan ke segala arah dengan mudah. Ia dapat diluruskan, dibengkokkan ke atas, ke bawah, ke kanan maupun ke kiri. Lidah pun dapat dilipat horizontal maupun vertikal. Begitulah lidah.
Gambaran mengenai lidah yang dapat digerakkan kesegala arah dengan mudah tersebut menyiratkan arti bahwa lidah dapat dengan mudah mengucapkan segala kata. Ia dapat mengucapkan perkataan yang lurus berupa kebenaran, maupun perkataan perkataan bengkok yang menyimpang dari kebenaran, seperti dusta, ghibah, fitnah, dan lain-lain.
Dalam ungkapan yang lain juga dikatakan bahwa, “Lidah itul lebih tajam dari sebilah pedang”. Benarkah bahwa lidah yang lembek itu lebih tajam dari sebilah pedang?
Coba kita renungkan sejenak…
Dengan menggunakan sebilah pedang yang tajam, bahkan yang paling tajam sekalipun seseorang hanya dapat membunuh seorang manusia lainnya hanya sekali saja. Setelah manusia itu mati, maka tidak mungkin dengan pedang itu ia dapat membunuhnya kembali untuk yang kedua kalinya. Namun, dengan lidah seseorang dapat membunuh seorang manusia lainnya setiap hari. Bahkan dalam sehari, seorang manusia dapat terbunuh berkali-kali oleh ganasnya lidah. Lidah dapat membunuh seseorang berkali-kali dengan cara memfitnah. Itulah mengapa akhirnya timbul istilah, “Sesungguhnya fitnah itu adalah lebih kejam daripada pembunuhan”.
Fitnah akan menghancurkan kehidupan seseorang. Fitnah merobek-robek harga diri seseorang. Fitnah menginjak-injak kehormatan seseorang. Fitnah menghancurkan segala sesuatu yang ada pada seseorang. Dan fitnah membuat seseorang hidup dalam kematian.
Itulah salah satu bahaya lidah yang tidak terkontrol dengan baik. Lidah yang tidak dikontrol dengan baik akan melontarkan kata-kata negatif yang tidak akan pernah diketahui seberapa besar efeknya terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri kelak. Demikian pula dengan lidah yang terkontrol dengan baik, yang selalu melontarkan kata-kata ma’ruf. Tidak akan pernah diketahui pula seberapa besar efek positif dari ucapan tersebut akan dapat mempengaruhi orang lain, dan seberapa besar pula balasan yang akan kita terima kelak. Hal ini senanda dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.”
(HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Untuk itu, sudah sepatutnyalah bagi setiap umat muslim yang beriman agar senantiasa menjaga lidahnya setiap saat. Berbicaralah dengan hati-hati, jangan sampai lepas kendali. Selalulah berupaya untuk senantiasa mengontrol lidah hanya untuk mengucapkan perkataan yang bernilai positif dan tidak menyinggung atau menyakiti. Karena, meskipun kita tidak pernah tahu mengenai apa dan seberapa besar balasan yang akan diberikan Allah swt kepada kita, namun kita harus yakin bahwa Allah swt selalu memberikan ganjaran yang setimpal. Tidak ada amalan sekecil apapun yang tidak akan mendapatkan balasan dari Allah swt, sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al Zalzalah ayat 7-8, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Al Zalzalah : 7-8)
Dan hendaknya kita pun senantiasa mengingat akan satu firman Allah swt yang artinya:

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(QS. Qaaf : 18)
Dalam surat Qaaf tersebut jelas sekali bahwa setiap patah kata yang terucap dari mulut kita dicatat oleh malaikat Allah swt yang tidak pernah berdusta maupun korupsi untuk menyembunyikan keburukan maupun kebaikan perkataan seorang manusia dari Allah swt. Dan andaipun hal itu terjadi, maka sesungguhnya “inna robbakalbilmirshood”, “sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasimu”. Maka tidak akan ada sedikitpun kata yang akan terlewat dari pendengaran Allah swt.
Untuk itu, hendaknya kita mengetahui bagaimanakah Islam mengajarkan tata cara dalam berbicara yang baik, sehingga kita tidak akan terjerumus dalam limbah dosa yang disebabkan oleh lidah kita, baik secara sengaja maupun tidak disengaja. Ingatlah bahwa segala sesuatu itu ada ilmunya, dan Islam adalah agama yang memiliki aturan atas setiap aktivitas kehidupan umatnya, dari masalah-masalah yang kecil hingga masalah-masalah yang besar. Maka sudah menjadi kewajiban umat muslimlah untuk terus menuntut dan memperdalam ilmu Islam agar tidak salah dalam melangkah, agar tidak salah dalam berucap.
Lidah adalah salah satu perangkat tubuh yang sangat vital bagi manusia, sekaligus salah satu perangkat tubuh yang juga dapat menjerumuskan seorang manusia dalam murka dan azab Allah swt yang sangat pedih. Maka dari itu kita harus mampu untuk mengontrol gerak lidah dengan baik. Untuk mengontrol lidah agar tidak berbicara dalam kemungkaran, Islam telah memberikan aturannya dengan jelas yang kemudian disebut dengan adab berbicara. Menurut kacamata Islam, adab berbicara memiliki beberapa poin yang jika direalisasikan insya Allah akan mengontrol lidah agar senantiasa berbicara dalam kebaikan dan menghindari ucapan-ucapan atau pembicaraan yang berbau maksiat, sebagaimana firman Allah swt yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al Ahzab : 70). Berikut adalah poin-poin yang terdapat di dalam adab berbicara tersebut:
1.    Berpikir sebelum berbicara
Hendaknya, segala sesuatu yang kita ucapkan merupakan kalimat atau kata-kata yang merupakan hasil pemikiran dan renungan dari dalam hati nurani, bukan merupakan kata-kata yang terlontar sembarangan. Pikirkanlah apakah ucapan yang akan akan disampaikan merupakan sebuah kebenaran dan kebaikan atau bukan. Tanyakan terlebih dahulu pada hati nurani, apakah ucapan yang akan dilontarkan berbau maksiat atau tidak. Dan tentunya, pemikiran serta perenungan tersebut pun harus dilandaskan pada prinsip-prinsip Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar. Hendaknya, kalimat atau kata yang kita ucapkan mengandung nilai-nilai kebaikan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw berikut:

“Dalam Islam mengajak umat agar senantiasa menjaga lisan. Dengan begitu, lisan menjadi selalu digunakan untuk sesuatu yang baik, tidak bertentangan dengan kehendak Allah swt. Rasulullah SAW bersabda, “Lisan orang yang berakal muncul dari balik hati nuraninya. Maka ketika hendak berbicara, terlebih dahulu ia kembali pada nuraninya. Apabila ada manfaat baginya, ia berbicara dan apabila dapat berbahaya, maka ia menahan diri. Sementara hati orang yang bodoh berada di mulut, ia berbicara sesuai apa saja yang ia maui.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Berkata yang baik juga merupakan salah satu ciri orang yang beriman kepada Allah swt. Maka jika ada seseorang yang mengaku beriman kepada kepada Allah swt namun masih suka mengucapkan kata-kata kotor, dusta, masih gemar bergossip, suka memfitnah, serta perkataan-perkataan berbau maksiat dan kemungkaran yang lain, bisa dikatakan bahwa imannya masih pincang atau cacat.
Sekiranya kita tidak mampu untuk berbicara yang baik, atau kita merasa bibir ini gatal manakala mendengar orang bergossip, maka sebaiknya menjauhlah dari hal-hal tersebut. Jangan turut mendengarkan, yang akan memancing kita untuk turut serta. Rasulullah saw bersabda:

“Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.”
( HR. Bukhari dan Muslim )
Inti pada poin pertama ini adalah, hendaknya pembicaraan selalu berada dalam lingkaran kebaikan, bukan merupakan pembicaraan yang mengandung kemaksiatan atau kemungkaran.
Mengenai perintah untuk selalu berbicara dalam kebaikan ini, Allah swt juga telah menegaskan melalui firman-Nya di dalam Al Quran, yang artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (QS. Al Mu’minun : 1-3)
Di dalam surat yang lain, Allah swt juga berfirman:

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.”
(QS. An Nisa : 114)

2.    Berbicara dengan jelas dan tidak bertele-tele

Islam menganjurkan umatnya untuk selalu berbicara dengan jelas sehingga dapat dipahami dengan baik oleh semua yang mendengarkan. Hindari kebiasaan berbicara bertele-tele yang dapat menyebabkan pendengar justru menjadi tidak mengerti maksud yang akan disampaikan. Selain itu, pembicaraan yang bertele-tele juga akan menimbulkan kejenuhan dan rasa tidak nyaman kepada pendengar, dan akhirnya pembicaraan itu dapat menghilangkan keihklasan dari pendengar. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:
“Bahwasanya perkataan Rasulullah saw itu selalu jelas sehingga bias dipahami oleh semua yang mendengar.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadist lain, Rasulullah saw juga telah berkata, “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah  kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi saw: “Orang-orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi dan dihasankannya)
Ucapan yang jelas dan tidak bertele-tele akan meminimalisir terjadinya kesalah pengertian pihak pendengar dalam menangkap dan mengartikan maksud dari si pembicara. Ucapan yang jelas di sini tentunya juga mengandung pengertian tidak terlalu cepat, sehinga kata perkata dapat terdengar dengan baik oleh pendengar.
3.    Tidak mengucapkan kebathilan
Salah satu yang juga termasuk di dalam adab berbicara adalah menghindarkan diri dari perkataan yang bathil, yaitu membicarakan kebathilan tanpa tujuan yang dibenarkan syariat.
Banyak sekali manusia yang terjerumus dalam perkara yang satu ini. Dan sebagian besar penyebabnya adalah karena mereka menganggap sepele terhadap apa yang akan dan telah mereka ucapkan. Ketika mereka mengucapkan satu kebathilan, sebenarnya hati kecil mereka mengerti bahwa ucapan tersebut tidak baik. Namun, seolah ada bisikan kecil yang menyusup ke dalam hati, kemudian berkata lirih namun begitu dahsyat pengaruhnya, “Halah…Cuma gitu aja!”, “Itu mah masalah sepele…!”, “Halah…Cuma bercanda kok!”, dan sebagainya. Bisikan-bisikan semacam itulah yang akhirnya membuat seseorang dengan PD-nya (Percaya Diri), tanpa rasa bersalah maupun berdosa mengucapkan kebathilan tersebut.
Sungguh, merugilah orang-orang yang sampai saat ini masih mempertahankan dan mengikuti bisikan-bisikan semacam itu. Apakah mereka berpikir bahwa Allah swt memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya yang dhoif itu? TIDAK! Allah swt adalah Zat yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna, mustahil bagi-Nya disamai oleh makhluk-Nya dalam hal apapun.
Ketahuilah, bahwa bisa jadi Allah swt menganggap sepele terhadap sesuatu yang kita anggap besar. Dan sebaliknya, bisa jadi Allah swt menganggap besar terhadap sesuatu yang kita anggap sepele. Karena hanya Dia-lah yang Maha Tahu atas segala sesuatu, hanya Dia-lah yang Maha Benar. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.”
(HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Cobalah renungkan sejenak sabda Rasulullah saw diatas, betapa perkataan yang dianggap sepele tersebut ternyata dapat menjerumuskan seseorang ke dalam murka Allah sw hingga datangnya hari kiamat kelak.
4.    Tidak berkata keji dan mencela
Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih)
Dengan kata lain, hadits di atas mengatakan bahwa orang-orang yang beriman adalah orang-oran yang selalu berbicara dalam kebaikan. Atau dapat juga dikatakan bahwa orang-orang yang suka berkata keji itu bukanlah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Untuk itu, jika seseorang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah swt maka tidak ada lagi kata-kata keji yang akan terlontar dari mulutnya.
Seseorang yang beriman akan selalu berusaha dengan keras untuk menahan nafsu yang selalu mengajaknya untuk emosi dan akhirnya mengeluarkan kata-kata yang keji atau kotor, menjauhi kebiasaan mencela yang dapat menyakiti hati orang lain.
5.    Tidak sombong dan banyak berbicara
Hindarilah kebiasaan terlalu banyak bicara, karena hal ini dapat menimbulkan kejenuhan bagi pendengarnya. Keingingan kita untuk menyampaikan sesuatu hendaknya dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak terlalu bertele-tele. Pendengar yang sudah dikuasai oleh kejenuhan dapat kehilangan konsentrasi yang akhirnya tidak dapat menyerap isi dari perkataan si pembicara.
“Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu Abdurrahman (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi saw dan beliau menjawab kuatir membosankan kami .“ (HR. Muttafaq ‘alaih)
Janganlah bersikap sok pintar yang seolah-olah mengerti akan banyak hal. Sikap sok pintar dan ingin dipuji sebagai orang yang pandai atau memiliki banyak ilmu pengetahuan akan membuat seseorang menjadi terlalu banyak berbicara. Dan hal ini justru tidak akan menimbulkan pujian dari pendengar, melainkan akan menimbulkan rasa bosan dan kesal kepada si pendengar. Sikap sok pintar merupakan salah satu sifat yang paling dibenci oleh Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan di dalam hadits Jabir ra:
“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani)
6.    Menghindari dusta
Salah satu perkataan yang banyak menimbulkan kerugian adalah dusta. Dusta dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain maupun diri sendiri. Memutar balikkan fakta, yang benar dapat dikatakan salah dan yang salah dapat dikatakan benar. Besar sekali kerugian orang yang terkena efek dusta ini. Seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara yang akan menghancurkan nama baik, pekerjaan, kuliah, sekolah, masa depan dan kehidupannya karena kesaksian palsu yang dibuat. Dusta merupakan salah satu perkataan yang wajib dihindari oleh umat muslim yang beriman. Karena, dusta merupakan salah satu dari tiga tanda orang munafik, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR. Bukhari)
Ingatlah, bahwa Rasulullah saw telah memberikan jaminan surga bagi mereka yang senantiasa menghindari dusta. Hal ini tertuang dalam salah satu hadistnya yang artinya:

“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.”
(HR. Abu Daud)

7.    Menghindari ghibah, menceritakan aib orang lain, dan panggilan yang buruk

Salah satu perkataan yang memiliki dampak negatif yang cukup besar adalah ghibah. Ghibah atau menggunjing merupakan perbuatan tercela yang dapat menghancurkan ikatan persaudaraan. Maka dari itu, kejahatan ghibah ini hendaknya tidak dibiarkan terus menggerogoti persatuan umat Islam. Selalu hindarkan diri dari ghibah atau menggunjing yang akan mengancurkan ukhuwah Islamiyah bahkan ukhuwah insaniyah kita.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw juga berkata, “Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Orang-orang yang suka menggunjing itu diibaratkan sebagai orang yang hobi memakan daging dari tubuh saudaranya yang sudah mati, memakan bangkai saudaranya. Hal ini telah di nyatakan oleh Allah swt dengan jelas melalui firman-Nya di dalam Al Quran yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Selain itu, Allah swt juga melarang hamba-Nya untuk membicarakan aib orang lain, mencela, memperolok-olok, memanggil saudaranya dengan panggilan atau gelar-gelar yang buruk. Dapat kita temui di masa sekarang, dikalangan ABG dan muda-mudi, betapa panggilan dengan sebutan yang buruk ini justru telah menjadi trend yang berkembang dengan pesat. Padahal Allah swt telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka [yang diolok-olok] lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri  dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujurat : 11)
Rasulullah saw juga telah bersabda, “Siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Aib dan rahasia saudara kita yang telah kita ketahui merupakan salah satu amanah yang harus tetap kita jaga kerahasiaannya. Tidak patut bagi seorang muslim untuk menceritakan aib dan rahasia saudaranya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Perlu juga diketahui bahwa di dalam Islam ada beberapa jenis Ghibah yang diperbolehkan, namun masalah ini insya Allah akan dibahas dalam artikel selanjutnya.
8.    Meminimalisir canda dan tawa
Canda dan tawa itu memang penting sebagai penyegar dalam kehidupan manusia. Hanya saja Allah swt tidak menyukai canda dan tawa yang berlebihan. Kelak di hari kiamat, Allah swt memandang orang-orang yang suka tertawa dan bercanda serta membuat orang lain tertawa dengan berlebihan sebagai seburuk-buruk manusia.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi Allah swt di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR. Bukhari)
Jika dengan membuat orang tertawa dengan berlebihan saja telah menjadikan orang tersebut sebagai seburuk-buruk manusia di sisi Allah swt, lalu bagaimana lagi dengan mereka yang membuat kebohongan untuk membuat orang lain tertawa terbahak-bahak?
9.    Menjauhi perdebatan sengit
Perdebatan adalah salah satu tindakan yang memang sangat sulit untuk dihindari di masa seperti sekarang ini, dimana Islam sendiri telah terpecah menjadi banyak aliran. Hal itu masih ditambah lagi dengan adanaya bisikan syaithan yang biasa disebut dengan “Gengsi”, yang kini telah merajai sebagian besar hati umat Islam. Jika salah satu aliran berkata begini, maka… Gengsi Dong bagi aliran lain jika tidak menanggapinya. Jika satu aliran merasa bahwa pendapat aliran yang lain tidak sesuai, maka…Gengsi bagi alirannya jika tidak menyanggah dan mengeluarkan pendapatnya. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya membuka peluang untuk terjadinya perdebatan sengit, perdebatan yang bukan bertujuan untuk mencari sebuah solusi, tapi perdebatan yang bertujuan untuk mempertahankan pendapat pribadi atau aliran masing-masing. Sebuah perdebatan yang hanya bertujuan untuk mempertahankan Gengsi-nya masing-masing. Sebuah perdebatan yang hanya akan menimbulkan perpecahan. Padahal Rasulullah saw telah bersabda:
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Memang bukanlah hal yang mudah untuk menghindari terjadinya suatu perdebatan, manakala kita mendengar sebuah pendapat yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang telah kita dapatkan, terlebih lagi jika pendapat itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita miliki. Namun, itulah perjuangan fiisabilillah, harus ada godaan dan tantangannya. Ingatlah, bahwa Rasulullah saw telah menjamin surga bagi orang-orang yang dapat menghindarkan diri dari perdebatan. Bukankah surga itu jauh lebih baik daripada mendapatkan kepuasan karena telah memenangkan sebuah perdebatan yang hanya akan menjatuhkan suatu pihak dan akhirnya menimbulkan perpecahan? Rasulullah saw telah bersabda:
“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR. Abu Daud)
10.    Mengulangi kata-kata yang penting
Jika memang dirasa perlu, maka diperbolehkan mengulangi kata-kata yang memang dianggap penting. Tentunya hal ini akan lebih baik daripada pendengar tidak menangkap dan memahami ucapan si pembicara dengan baik. Insya Allah dengan mengulangi kata-kata yang memang di anggap penting juga dapat meminimalisir resiko kesalah pahaman diantara kedua belah pihak (pendengar dan pembicara).
Anas ra telah berkata : “adalah Rasulullah saw jika berbicara maka beliau mengulanginya sampai tiga kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi paham, dan apabila Rasulullah saw mendatangi rumah seseorang maka ia pun mengucapkan salam sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari)
11.    Berhati-hati dan adil dalam memuji
Kalau mau jujur, maka niscaya tidak ada seseorang yang tidak suka terhadap pujian. Setiap orang pasti senang dan berbunga-bunga manakala mendapatkan sebuah pujian. Namun, Islam dengan bijaksananya telah mengingatkan umatnya untuk senantiasa berhati-hati kepada mereka yang suka mengumbar pujian.
Memang, pujian itu senantiasa terdengar indah dan manis. Dan hal itulah yang telah banyak membuat manusia lalai. Satu contoh kasus, satu ketika ada seorang pemuda muslim yang sangat zuhud, ahli ibadah, dan sangat istiqomah dengan sholat berjamah. Tanpa sadar, lama kelamaan kezuhudan dan keistiqomahannyapun berubah haluan. Yang tadinya hanya ditujukan kepada Allah swt, sekarang mengarah kepada sombong, riya, ujub, dan sebagainya. Hal ini terjadi tanpa ia sadari setelah ia mendengar dari rekannya bahwa ada seorang gadis muslimah yang memuji ketaatannya tersebut. Sejak itu, ia pergi ke masjid agar gadis tersebut tetap takjub kepadanya. Ia pergi ke masjid karena malu kepada gadis itu seandainya sang gadis tahu bahwa ia telah absen dari sholat berjamaah.
Di sini kita dapatkan sisi negatif dari sebuah pujian. Untuk itu, berhati-hatilah dalam menerima maupun memberikan pujian. Janganlah memuji seseorang dengan berlebihan. Jangan sampai pujian yang kita berikan justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehancuran. Jangan sampai pujian yang diberikan orang kepada kita justru akan menjauhkan kita dari Allah swt.
Dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata: Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata nabi saw: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (Rasulullah saw mengucapkannya hingga dua kali), lalu Rasulullah saw berkata: “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga Allah mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi Allah, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Mengingat besarnya bahaya yang tersembunyi dari sebuah pujian, maka dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk menaburkan pasir ke wajah orang yang suka mengumbar pujian.
Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: “Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi sawmemerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji.” (HR. Muslim)
12.    Berbicaralah dengan tenang

Berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa merupakan salah satu adab dalam berbicara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kata-kata atau kalimat yang diucapkan dengan tenang, tentunya akan lebih jelas, enak didengar, dan mudah dimengerti daripada kata-kata atau kalimat yang diucapkan dengan tergesa-gesa, apalagi tanpa jeda.
Aisyah ra berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (Mutta-faq’alaih).

13.    Tidak membicarakan semua yang telah didengar

Tidaklah pantas bagi seorang mukmin untuk membicarakan segala sesuatu yang telah ia dengar. Karena, mungkin saja di dalam perkataan yang telah ia ucapkan tersebut terdapat rahasia dan aib orang lain, yang orang tersebut tidak menginginkan aib atau rahasianya dibeberkan. Dan dikhawatirkan, bahwa apa yang telah didengar itu merupakan suatu kebohongan, yang jika diceritakan kepada orang lain maka artinya ia pun telah berperan dalam penyebar luasan suatu kebohongan. Itulah mengapa Rasulullah saw telah mengatakan bahwa membicarakan segala sesuatu yang didengar merupakan dosa.
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw telah bersabda: “Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)
14.    Tidak memotong maupun memonopoli pembicaraan
Berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan ide, opini, dan unek-uneknya. Jangan memonopoli pembicaraan dan membuat orang lain menjadi pendengar setia anda. Sikap memonopoli pembicaraan dapat menyinggung perasaan pendengar, karena ia merasa dianggap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Dan yang sudah tentu tidak dapat dihindari dari si pendengar adalah kejenuhan.
Tunggulah hingga lawan bicara menyelesaikan pembicaraannya, jangan menyela atau memotong ucapannya. Tentunya hal ini akan membuat kesal dan tersinggung lawan bicara. Anda akan dianggap tidak memiliki etika jika memotong pembicaraan seseorang.
Janganlah menganggap remeh apa yang telah disampaikan oleh lawan bicara. Dan jangan pula memandang rendah kepada lawan bicara. Tanggapi semua opini dan ucapan lawan bicara dengan baik.
Demikianlah Islam telah mengatur etika atau adab-adab dalam berbicara agar pembicaraan tidak menjadi sebuah media yang akan menjerumuskan seseorang dalam kubangan dosa, namun menjadi media yang akan membawa seseorang dan umat menuju rahmat dan surganya Allah swt.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberikan barokah bagi kita semua. Amin.
www.syahadat.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Belajar. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase