“Lidah memang tidak bertulang”, itulah ungkapan yang sudah
tidak asing lagi di telinga setiap kita. Ungkapan tersebut menunjukkan
betapa lidah dapat digerakkan ke segala arah dengan mudah. Ia dapat
diluruskan, dibengkokkan ke atas, ke bawah, ke kanan maupun ke kiri.
Lidah pun dapat dilipat horizontal maupun vertikal. Begitulah lidah.
Gambaran mengenai lidah yang dapat digerakkan kesegala arah dengan
mudah tersebut menyiratkan arti bahwa lidah dapat dengan mudah
mengucapkan segala kata. Ia dapat mengucapkan perkataan yang lurus
berupa kebenaran, maupun perkataan perkataan bengkok yang menyimpang
dari kebenaran, seperti dusta, ghibah, fitnah, dan lain-lain.
Dalam ungkapan yang lain juga dikatakan bahwa, “Lidah itul lebih tajam dari sebilah pedang”. Benarkah bahwa lidah yang lembek itu lebih tajam dari sebilah pedang?
Coba kita renungkan sejenak…
Dengan menggunakan sebilah pedang yang tajam, bahkan yang paling tajam
sekalipun seseorang hanya dapat membunuh seorang manusia lainnya hanya
sekali saja. Setelah manusia itu mati, maka tidak mungkin dengan pedang
itu ia dapat membunuhnya kembali untuk yang kedua kalinya. Namun, dengan
lidah seseorang dapat membunuh seorang manusia lainnya setiap hari.
Bahkan dalam sehari, seorang manusia dapat terbunuh berkali-kali oleh
ganasnya lidah. Lidah dapat membunuh seseorang berkali-kali dengan cara
memfitnah. Itulah mengapa akhirnya timbul istilah, “Sesungguhnya fitnah itu adalah lebih kejam daripada pembunuhan”.
Fitnah akan menghancurkan kehidupan seseorang. Fitnah merobek-robek
harga diri seseorang. Fitnah menginjak-injak kehormatan seseorang.
Fitnah menghancurkan segala sesuatu yang ada pada seseorang. Dan fitnah
membuat seseorang hidup dalam kematian.
Itulah salah satu bahaya lidah yang tidak terkontrol dengan baik.
Lidah yang tidak dikontrol dengan baik akan melontarkan kata-kata
negatif yang tidak akan pernah diketahui seberapa besar efeknya terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri kelak. Demikian pula dengan
lidah yang terkontrol dengan baik, yang selalu melontarkan kata-kata
ma’ruf. Tidak akan pernah diketahui pula seberapa besar efek positif
dari ucapan tersebut akan dapat mempengaruhi orang lain, dan seberapa
besar pula balasan yang akan kita terima kelak. Hal ini senanda dengan
sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah
swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga
dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti
hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai
Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya
yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Untuk itu, sudah sepatutnyalah bagi setiap umat muslim yang beriman
agar senantiasa menjaga lidahnya setiap saat. Berbicaralah dengan
hati-hati, jangan sampai lepas kendali. Selalulah berupaya untuk
senantiasa mengontrol lidah hanya untuk mengucapkan perkataan yang
bernilai positif dan tidak menyinggung atau menyakiti. Karena, meskipun
kita tidak pernah tahu mengenai apa dan seberapa besar balasan yang akan
diberikan Allah swt kepada kita, namun kita harus yakin bahwa Allah swt
selalu memberikan ganjaran yang setimpal. Tidak ada amalan sekecil
apapun yang tidak akan mendapatkan balasan dari Allah swt, sebagaimana
firman Allah swt dalam surat Al Zalzalah ayat 7-8, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
pula.” (QS. Al Zalzalah : 7-8)
Dan hendaknya kita pun senantiasa mengingat akan satu firman Allah swt yang artinya:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf : 18)
Dalam surat Qaaf tersebut jelas sekali bahwa setiap patah kata yang
terucap dari mulut kita dicatat oleh malaikat Allah swt yang tidak
pernah berdusta maupun korupsi untuk menyembunyikan keburukan maupun
kebaikan perkataan seorang manusia dari Allah swt. Dan andaipun hal itu
terjadi, maka sesungguhnya “inna robbakalbilmirshood”, “sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasimu”. Maka tidak akan ada sedikitpun kata yang akan terlewat dari pendengaran Allah swt.
Untuk itu, hendaknya kita mengetahui bagaimanakah Islam mengajarkan
tata cara dalam berbicara yang baik, sehingga kita tidak akan terjerumus
dalam limbah dosa yang disebabkan oleh lidah kita, baik secara sengaja
maupun tidak disengaja. Ingatlah bahwa segala sesuatu itu ada ilmunya,
dan Islam adalah agama yang memiliki aturan atas setiap aktivitas
kehidupan umatnya, dari masalah-masalah yang kecil hingga
masalah-masalah yang besar. Maka sudah menjadi kewajiban umat muslimlah
untuk terus menuntut dan memperdalam ilmu Islam agar tidak salah dalam
melangkah, agar tidak salah dalam berucap.
Lidah adalah salah satu perangkat tubuh yang sangat vital bagi
manusia, sekaligus salah satu perangkat tubuh yang juga dapat
menjerumuskan seorang manusia dalam murka dan azab Allah swt yang sangat
pedih. Maka dari itu kita harus mampu untuk mengontrol gerak lidah
dengan baik. Untuk mengontrol lidah agar tidak berbicara dalam
kemungkaran, Islam telah memberikan aturannya dengan jelas yang kemudian
disebut dengan adab berbicara. Menurut kacamata Islam, adab
berbicara memiliki beberapa poin yang jika direalisasikan insya Allah
akan mengontrol lidah agar senantiasa berbicara dalam kebaikan dan
menghindari ucapan-ucapan atau pembicaraan yang berbau maksiat,
sebagaimana firman Allah swt yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS. Al Ahzab : 70). Berikut adalah poin-poin yang terdapat di dalam adab berbicara tersebut:
1. Berpikir sebelum berbicara
Hendaknya, segala sesuatu yang kita ucapkan merupakan kalimat atau
kata-kata yang merupakan hasil pemikiran dan renungan dari dalam hati
nurani, bukan merupakan kata-kata yang terlontar sembarangan.
Pikirkanlah apakah ucapan yang akan akan disampaikan merupakan sebuah
kebenaran dan kebaikan atau bukan. Tanyakan terlebih dahulu pada hati
nurani, apakah ucapan yang akan dilontarkan berbau maksiat atau tidak.
Dan tentunya, pemikiran serta perenungan tersebut pun harus dilandaskan
pada prinsip-prinsip Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar.
Hendaknya, kalimat atau kata yang kita ucapkan mengandung nilai-nilai
kebaikan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw berikut:
“Dalam Islam mengajak umat agar senantiasa menjaga lisan. Dengan begitu,
lisan menjadi selalu digunakan untuk sesuatu yang baik, tidak
bertentangan dengan kehendak Allah swt. Rasulullah SAW bersabda, “Lisan
orang yang berakal muncul dari balik hati nuraninya. Maka ketika hendak
berbicara, terlebih dahulu ia kembali pada nuraninya. Apabila ada
manfaat baginya, ia berbicara dan apabila dapat berbahaya, maka ia
menahan diri. Sementara hati orang yang bodoh berada di mulut, ia
berbicara sesuai apa saja yang ia maui.” (HR. Bukhari-Muslim).
Berkata yang baik juga merupakan salah satu ciri orang yang beriman
kepada Allah swt. Maka jika ada seseorang yang mengaku beriman kepada
kepada Allah swt namun masih suka mengucapkan kata-kata kotor, dusta,
masih gemar bergossip, suka memfitnah, serta perkataan-perkataan berbau
maksiat dan kemungkaran yang lain, bisa dikatakan bahwa imannya masih
pincang atau cacat.
Sekiranya kita tidak mampu untuk berbicara yang baik, atau kita
merasa bibir ini gatal manakala mendengar orang bergossip, maka
sebaiknya menjauhlah dari hal-hal tersebut. Jangan turut mendengarkan,
yang akan memancing kita untuk turut serta. Rasulullah saw bersabda:
“Siapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Inti pada poin pertama ini adalah, hendaknya pembicaraan selalu
berada dalam lingkaran kebaikan, bukan merupakan pembicaraan yang
mengandung kemaksiatan atau kemungkaran.
Mengenai perintah untuk selalu berbicara dalam kebaikan ini, Allah
swt juga telah menegaskan melalui firman-Nya di dalam Al Quran, yang
artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)
orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,” (QS. Al Mu’minun : 1-3)
Di dalam surat yang lain, Allah swt juga berfirman:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali
bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau
berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (QS. An Nisa : 114)
2. Berbicara dengan jelas dan tidak bertele-tele
Islam menganjurkan umatnya untuk selalu berbicara dengan jelas
sehingga dapat dipahami dengan baik oleh semua yang mendengarkan.
Hindari kebiasaan berbicara bertele-tele yang dapat menyebabkan
pendengar justru menjadi tidak mengerti maksud yang akan disampaikan.
Selain itu, pembicaraan yang bertele-tele juga akan menimbulkan
kejenuhan dan rasa tidak nyaman kepada pendengar, dan akhirnya
pembicaraan itu dapat menghilangkan keihklasan dari pendengar. Dalam hal
ini Rasulullah saw telah bersabda:
“Bahwasanya perkataan Rasulullah saw itu selalu jelas sehingga bias dipahami oleh semua yang mendengar.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadist lain, Rasulullah saw juga telah berkata, “Sesungguhnya
orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat
ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab nabi saw: “Orang-orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi dan dihasankannya)
Ucapan yang jelas dan tidak bertele-tele akan meminimalisir
terjadinya kesalah pengertian pihak pendengar dalam menangkap dan
mengartikan maksud dari si pembicara. Ucapan yang jelas di sini tentunya
juga mengandung pengertian tidak terlalu cepat, sehinga kata perkata
dapat terdengar dengan baik oleh pendengar.
3. Tidak mengucapkan kebathilan
Salah satu yang juga termasuk di dalam adab berbicara adalah
menghindarkan diri dari perkataan yang bathil, yaitu membicarakan
kebathilan tanpa tujuan yang dibenarkan syariat.
Banyak sekali manusia yang terjerumus dalam perkara yang satu ini.
Dan sebagian besar penyebabnya adalah karena mereka menganggap sepele
terhadap apa yang akan dan telah mereka ucapkan. Ketika mereka
mengucapkan satu kebathilan, sebenarnya hati kecil mereka mengerti bahwa
ucapan tersebut tidak baik. Namun, seolah ada bisikan kecil yang
menyusup ke dalam hati, kemudian berkata lirih namun begitu dahsyat
pengaruhnya, “Halah…Cuma gitu aja!”, “Itu mah masalah sepele…!”, “Halah…Cuma bercanda kok!”,
dan sebagainya. Bisikan-bisikan semacam itulah yang akhirnya membuat
seseorang dengan PD-nya (Percaya Diri), tanpa rasa bersalah maupun
berdosa mengucapkan kebathilan tersebut.
Sungguh, merugilah orang-orang yang sampai saat ini masih
mempertahankan dan mengikuti bisikan-bisikan semacam itu. Apakah mereka
berpikir bahwa Allah swt memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya
yang dhoif itu? TIDAK! Allah swt adalah Zat yang Maha Tinggi dan Maha
Sempurna, mustahil bagi-Nya disamai oleh makhluk-Nya dalam hal apapun.
Ketahuilah, bahwa bisa jadi Allah swt menganggap sepele terhadap
sesuatu yang kita anggap besar. Dan sebaliknya, bisa jadi Allah swt
menganggap besar terhadap sesuatu yang kita anggap sepele. Karena hanya
Dia-lah yang Maha Tahu atas segala sesuatu, hanya Dia-lah yang Maha
Benar. Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah
swt yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga
dicatat oleh Allah swt keridhoan-Nya bagi orang tersebut sampai nanti
hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai
Allah swt yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah swt mencatatnya
yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Cobalah renungkan sejenak sabda Rasulullah saw diatas, betapa
perkataan yang dianggap sepele tersebut ternyata dapat menjerumuskan
seseorang ke dalam murka Allah sw hingga datangnya hari kiamat kelak.
4. Tidak berkata keji dan mencela
Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah seorang mukmin jika suka mencela, melaknat dan berkata-kata keji.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih)
Dengan kata lain, hadits di atas mengatakan bahwa orang-orang yang
beriman adalah orang-oran yang selalu berbicara dalam kebaikan. Atau
dapat juga dikatakan bahwa orang-orang yang suka berkata keji itu
bukanlah termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman. Untuk itu,
jika seseorang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah swt
maka tidak ada lagi kata-kata keji yang akan terlontar dari mulutnya.
Seseorang yang beriman akan selalu berusaha dengan keras untuk
menahan nafsu yang selalu mengajaknya untuk emosi dan akhirnya
mengeluarkan kata-kata yang keji atau kotor, menjauhi kebiasaan mencela
yang dapat menyakiti hati orang lain.
5. Tidak sombong dan banyak berbicara
Hindarilah kebiasaan terlalu banyak bicara, karena hal ini dapat
menimbulkan kejenuhan bagi pendengarnya. Keingingan kita untuk
menyampaikan sesuatu hendaknya dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami
dan tidak terlalu bertele-tele. Pendengar yang sudah dikuasai oleh
kejenuhan dapat kehilangan konsentrasi yang akhirnya tidak dapat
menyerap isi dari perkataan si pembicara.
“Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu Abdurrahman (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya
tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir
membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada nabi
saw dan beliau menjawab kuatir membosankan kami .“ (HR. Muttafaq ‘alaih)
Janganlah bersikap sok pintar yang seolah-olah mengerti akan banyak hal. Sikap sok pintar
dan ingin dipuji sebagai orang yang pandai atau memiliki banyak ilmu
pengetahuan akan membuat seseorang menjadi terlalu banyak berbicara. Dan
hal ini justru tidak akan menimbulkan pujian dari pendengar, melainkan
akan menimbulkan rasa bosan dan kesal kepada si pendengar. Sikap sok pintar merupakan salah satu sifat yang paling dibenci oleh Rasulullah saw, sebagaimana dinyatakan di dalam hadits Jabir ra:
“Dan sesungguhnya manusia yang paling aku benci dan yang paling
jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara, orang
yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”. (HR. At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani)
6. Menghindari dusta
Salah satu perkataan yang banyak menimbulkan kerugian adalah dusta.
Dusta dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain maupun diri sendiri.
Memutar balikkan fakta, yang benar dapat dikatakan salah dan yang salah
dapat dikatakan benar. Besar sekali kerugian orang yang terkena efek
dusta ini. Seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara yang akan
menghancurkan nama baik, pekerjaan, kuliah, sekolah, masa depan dan
kehidupannya karena kesaksian palsu yang dibuat. Dusta merupakan salah
satu perkataan yang wajib dihindari oleh umat muslim yang beriman.
Karena, dusta merupakan salah satu dari tiga tanda orang munafik,
sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR. Bukhari)
Ingatlah, bahwa Rasulullah saw telah memberikan jaminan surga bagi
mereka yang senantiasa menghindari dusta. Hal ini tertuang dalam salah
satu hadistnya yang artinya:
“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun
ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta
walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang
baik akhlaqnya.” (HR. Abu Daud)
7. Menghindari ghibah, menceritakan aib orang lain, dan panggilan yang buruk
Salah satu perkataan yang memiliki dampak negatif yang cukup besar
adalah ghibah. Ghibah atau menggunjing merupakan perbuatan tercela yang
dapat menghancurkan ikatan persaudaraan. Maka dari itu, kejahatan ghibah
ini hendaknya tidak dibiarkan terus menggerogoti persatuan umat Islam.
Selalu hindarkan diri dari ghibah atau menggunjing yang akan
mengancurkan ukhuwah Islamiyah bahkan ukhuwah insaniyah kita.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah saw menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw juga berkata, “Janganlah
kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan
janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling
menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang
lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Orang-orang yang suka menggunjing itu diibaratkan sebagai orang yang
hobi memakan daging dari tubuh saudaranya yang sudah mati, memakan
bangkai saudaranya. Hal ini telah di nyatakan oleh Allah swt dengan
jelas melalui firman-Nya di dalam Al Quran yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Selain itu, Allah swt juga melarang hamba-Nya untuk membicarakan aib
orang lain, mencela, memperolok-olok, memanggil saudaranya dengan
panggilan atau gelar-gelar yang buruk. Dapat kita temui di masa
sekarang, dikalangan ABG dan muda-mudi, betapa panggilan dengan sebutan
yang buruk ini justru telah menjadi trend yang berkembang dengan pesat.
Padahal Allah swt telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka [yang diolok-olok] lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil
memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujurat : 11)
Rasulullah saw juga telah bersabda, “Siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Aib dan rahasia saudara kita yang telah kita ketahui merupakan salah
satu amanah yang harus tetap kita jaga kerahasiaannya. Tidak patut bagi
seorang muslim untuk menceritakan aib dan rahasia saudaranya,
sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Perlu juga diketahui bahwa di dalam Islam ada beberapa jenis Ghibah
yang diperbolehkan, namun masalah ini insya Allah akan dibahas dalam
artikel selanjutnya.
8. Meminimalisir canda dan tawa
Canda dan tawa itu memang penting sebagai penyegar dalam kehidupan
manusia. Hanya saja Allah swt tidak menyukai canda dan tawa yang
berlebihan. Kelak di hari kiamat, Allah swt memandang orang-orang yang
suka tertawa dan bercanda serta membuat orang lain tertawa dengan
berlebihan sebagai seburuk-buruk manusia.
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi Allah swt di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR. Bukhari)
Jika dengan membuat orang tertawa dengan berlebihan saja telah
menjadikan orang tersebut sebagai seburuk-buruk manusia di sisi Allah
swt, lalu bagaimana lagi dengan mereka yang membuat kebohongan untuk
membuat orang lain tertawa terbahak-bahak?
9. Menjauhi perdebatan sengit
Perdebatan adalah salah satu tindakan yang memang sangat sulit untuk
dihindari di masa seperti sekarang ini, dimana Islam sendiri telah
terpecah menjadi banyak aliran. Hal itu masih ditambah lagi dengan
adanaya bisikan syaithan yang biasa disebut dengan “Gengsi”, yang kini telah merajai sebagian besar hati umat Islam. Jika salah satu aliran berkata begini, maka… Gengsi Dong bagi aliran lain jika tidak menanggapinya. Jika satu aliran merasa bahwa pendapat aliran yang lain tidak sesuai, maka…Gengsi bagi
alirannya jika tidak menyanggah dan mengeluarkan pendapatnya. Hal-hal
semacam inilah yang akhirnya membuka peluang untuk terjadinya perdebatan
sengit, perdebatan yang bukan bertujuan untuk mencari sebuah solusi,
tapi perdebatan yang bertujuan untuk mempertahankan pendapat pribadi
atau aliran masing-masing. Sebuah perdebatan yang hanya bertujuan untuk
mempertahankan Gengsi-nya masing-masing. Sebuah perdebatan yang hanya akan menimbulkan perpecahan. Padahal Rasulullah saw telah bersabda:
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Memang bukanlah hal yang mudah untuk menghindari terjadinya suatu
perdebatan, manakala kita mendengar sebuah pendapat yang tidak sesuai
dengan pengetahuan yang telah kita dapatkan, terlebih lagi jika pendapat
itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita miliki. Namun, itulah
perjuangan fiisabilillah, harus ada godaan dan tantangannya. Ingatlah,
bahwa Rasulullah saw telah menjamin surga bagi orang-orang yang dapat
menghindarkan diri dari perdebatan. Bukankah surga itu jauh lebih baik
daripada mendapatkan kepuasan karena telah memenangkan sebuah perdebatan
yang hanya akan menjatuhkan suatu pihak dan akhirnya menimbulkan
perpecahan? Rasulullah saw telah bersabda:
“Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat
sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang
menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak
surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR. Abu Daud)
10. Mengulangi kata-kata yang penting
Jika memang dirasa perlu, maka diperbolehkan mengulangi kata-kata
yang memang dianggap penting. Tentunya hal ini akan lebih baik daripada
pendengar tidak menangkap dan memahami ucapan si pembicara dengan baik.
Insya Allah dengan mengulangi kata-kata yang memang di anggap penting
juga dapat meminimalisir resiko kesalah pahaman diantara kedua belah
pihak (pendengar dan pembicara).
Anas ra telah berkata : “adalah Rasulullah saw jika berbicara
maka beliau mengulanginya sampai tiga kali sehingga semua yang
mendengarkannya menjadi paham, dan apabila Rasulullah saw mendatangi
rumah seseorang maka ia pun mengucapkan salam sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari)
11. Berhati-hati dan adil dalam memuji
Kalau mau jujur, maka niscaya tidak ada seseorang yang tidak suka
terhadap pujian. Setiap orang pasti senang dan berbunga-bunga manakala
mendapatkan sebuah pujian. Namun, Islam dengan bijaksananya telah
mengingatkan umatnya untuk senantiasa berhati-hati kepada mereka yang
suka mengumbar pujian.
Memang, pujian itu senantiasa terdengar indah dan manis. Dan hal
itulah yang telah banyak membuat manusia lalai. Satu contoh kasus, satu
ketika ada seorang pemuda muslim yang sangat zuhud, ahli ibadah, dan
sangat istiqomah dengan sholat berjamah. Tanpa sadar, lama kelamaan
kezuhudan dan keistiqomahannyapun berubah haluan. Yang tadinya hanya
ditujukan kepada Allah swt, sekarang mengarah kepada sombong, riya,
ujub, dan sebagainya. Hal ini terjadi tanpa ia sadari setelah ia
mendengar dari rekannya bahwa ada seorang gadis muslimah yang memuji
ketaatannya tersebut. Sejak itu, ia pergi ke masjid agar gadis tersebut
tetap takjub kepadanya. Ia pergi ke masjid karena malu kepada gadis itu
seandainya sang gadis tahu bahwa ia telah absen dari sholat berjamaah.
Di sini kita dapatkan sisi negatif dari sebuah pujian. Untuk itu,
berhati-hatilah dalam menerima maupun memberikan pujian. Janganlah
memuji seseorang dengan berlebihan. Jangan sampai pujian yang kita
berikan justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehancuran.
Jangan sampai pujian yang diberikan orang kepada kita justru akan
menjauhkan kita dari Allah swt.
Dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata: Ada seorang
yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata nabi saw: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (Rasulullah saw mengucapkannya hingga dua kali), lalu Rasulullah saw berkata: “Jika
ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah:
Cukuplah si fulan, semoga Allah mencukupkannya, kami tidak mensucikan
seorangpun disisi Allah, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Mengingat besarnya bahaya yang tersembunyi dari sebuah pujian, maka
dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk
menaburkan pasir ke wajah orang yang suka mengumbar pujian.
Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: “Berdiri seseorang
memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara
berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah
orang itu, lalu berkata: Nabi sawmemerintahkan kami untuk menaburkan
pasir di wajah orang yang gemar memuji.” (HR. Muslim)
12. Berbicaralah dengan tenang
Berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa merupakan salah satu adab
dalam berbicara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kata-kata
atau kalimat yang diucapkan dengan tenang, tentunya akan lebih jelas,
enak didengar, dan mudah dimengerti daripada kata-kata atau kalimat yang
diucapkan dengan tergesa-gesa, apalagi tanpa jeda.
Aisyah ra berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam apabila membicarakan suatu pembicaraan, sekiranya ada orang yang
menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya.” (Mutta-faq’alaih).
13. Tidak membicarakan semua yang telah didengar
Tidaklah pantas bagi seorang mukmin untuk membicarakan segala sesuatu
yang telah ia dengar. Karena, mungkin saja di dalam perkataan yang
telah ia ucapkan tersebut terdapat rahasia dan aib orang lain, yang
orang tersebut tidak menginginkan aib atau rahasianya dibeberkan. Dan
dikhawatirkan, bahwa apa yang telah didengar itu merupakan suatu
kebohongan, yang jika diceritakan kepada orang lain maka artinya ia pun
telah berperan dalam penyebar luasan suatu kebohongan. Itulah mengapa
Rasulullah saw telah mengatakan bahwa membicarakan segala sesuatu yang
didengar merupakan dosa.
Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw telah bersabda: “Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”. (HR. Muslim)
14. Tidak memotong maupun memonopoli pembicaraan
Berikanlah kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan ide, opini, dan unek-uneknya.
Jangan memonopoli pembicaraan dan membuat orang lain menjadi pendengar
setia anda. Sikap memonopoli pembicaraan dapat menyinggung perasaan
pendengar, karena ia merasa dianggap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Dan
yang sudah tentu tidak dapat dihindari dari si pendengar adalah
kejenuhan.
Tunggulah hingga lawan bicara menyelesaikan pembicaraannya, jangan
menyela atau memotong ucapannya. Tentunya hal ini akan membuat kesal dan
tersinggung lawan bicara. Anda akan dianggap tidak memiliki etika jika
memotong pembicaraan seseorang.
Janganlah menganggap remeh apa yang telah disampaikan oleh lawan
bicara. Dan jangan pula memandang rendah kepada lawan bicara. Tanggapi
semua opini dan ucapan lawan bicara dengan baik.
Demikianlah Islam telah mengatur etika atau adab-adab dalam berbicara
agar pembicaraan tidak menjadi sebuah media yang akan menjerumuskan
seseorang dalam kubangan dosa, namun menjadi media yang akan membawa
seseorang dan umat menuju rahmat dan surganya Allah swt.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberikan barokah bagi kita semua. Amin.
www.syahadat.com
PENCATATAN DAN PENERBITAN SAHAM BATAS LINTAS NEGARA
-
Faktor yang mungkin banyak menyumbangkan perhatian lebih terhadap akuntansi
internasional di kalangan eksekutif perusahaan, investor, regulator pasar,
pe...
8 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar